Taqial-Din Ahmad ibn 'Abd al-Halim ibn Taimiyah lahir di Harran (sekarang di tenggara Turki) pada tanggal 22 Januari 1263. Ia lahir di keluarga penganut mazhab Hanbali yang melarikan diri dari ancaman Mongol. Keluarga Ibnu Taimiyah kemudian menetap di Damaskus pada 1269. Ia menghabiskan hidupnya di wilayah kesultanan Mamluk - Suriah, Mesir SejarahPerkembangan Filsafat Ilmu dan Pengertian Filsafat ilmu; filsafat artinya cinta akan kebijaksanaan. Cinta artinya hasrat yang besar atau yang berkobar-kobar atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. serta Muncul beberapa pemikiran filsof pada masa Yunani kuno antara lain, Parmenides, Xenophanes, Thales, Aristoteles, Heraktilus TIMESINDONESIA MALANG - Tasawuf sebagaimana yang sudah dikemukakan yaitu upaya membersihkan diri dari perilaku yang mempengaruhi kesucian jiwa dan berjuang mengendalikan hawa nafsu menuju keabadian. Sedangkan psikologi yang berarti ilmu tentang jiwa yang di dalam ilmu tentang jiwa menurut Gross yang dikutip oleh Matt Jarvis adalah pikiran dan perilaku. Vay Tiền Nhanh. SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF DI INDONESIA DAN TOKOHNYA Makalah Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf yang diampu oleh Bapak Wardi Disusun oleh Dwi Fitriyanti 20170703032055 Nur Aisyah 20170703032140 Nurul Fadilah 20170703032143 Yulinar CT 20170703032161 Shinta Dwinur Sutansyah 20170703032168 PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN 2017 Kata Pengantar Pertama-tama perkenankanlah kami selaku penyusun makalah ini mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan judul “Sejarah Perkembangan Tasawuf di Indoesia dan Tokohnya ”. Ucapan terima kasih dan puji syukur kami sampaikan kepada Allah dan semua pihak yang telah membantu kelancaran, memberikan masukan serta ide-ide untuk menyusun makalah ini. Kami selaku penyusun telah berusaha sebaik mungkin untuk menyempurnakan makalah ini, namun tidak mustahil apabila terdapat kekurangan maupun kesalahan. Oleh karena itu kami memohon saran serta komentar yang dapat kami jadikan motivasi untuk menyempurnakan pedoman dimasa yang akan datang. Pamekasan, 30 Novenber 2017 penulis Daftar Isi DaftarIsi.................................................................................................................... BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………………… a. Latar belakang ………………………………………………………… b. Rumusan masalah……………………………………………………… c. Tujuan masalah………………………………………………………... BAB 2 PEMBAHASAN …………………………………………………………. a. Sejarah Tasawuf di Indonesia ……………………………………........ b. Tokoh-tokoh Tasawuf di Indonesia …………………………………... BAB 3 PENUTUP ……………………………………………………………….. a. Kesimpulan …………………………………………………………… DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. BAB 1 Latar Belakang Penyebaran Islam yang berkembang secara spektakuler di indonesia berkat peranan dan kontribusi tokoh-tokoh tasawuf adalah kenyataan yang diakui oleh hampir mayoritas sejarawan dan peneliti. Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih sayang. Terdapat kesepakatan dikalangan sejarawan dan peneliti, orientalis, dan cendikiawan Indonesia bahwa tasawuf adalah faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas. B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian sejarah tasawuf di Indonesia? 2. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia dan ajarannya? Jelaskan! C. Tujuan Masalah 1. Untuk mengetahui sejarah tasawuf di Indonesia 2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah tasawuf di Indonesia Perkembangan tasawuf di Indonesia, tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi dikawasan ini. Sebab, sebagian besar penyebaran Islam di Nusantara merupakan jasa para sufi. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf merupakan unsur yang cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu.[1] Sejak berdirinya kerajaan Islam Pasai, kawasan Pasai menjadi titik sentral penyiaran agama Islam ke berbagai daerah di Sumatera dan pesisir utara Pulau Jawa. Islam tersebar di tanah Minangkabau atas upaya Syekh Burhanuddin Ulakan Syekh Tarekat Syattariyah. Sampai sekarang, kebesaran nama Syekh dari Ulakan tetap diabadikan masyarakat pesisir Minangkabau melalui upacara “basapa” pada setiap bulan Safar. Penyebaran Islam ke Pulau Jawa, juga berasal dari kerajaan Pasai, terutama atas jasa Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishak, dan Ibrahim Asmuro.[2] Perkembangan Islam di tanah Jawa selanjutnya digerakkan oleh Wali Songo atau Wali Sembilan. Sebutan ini sudah cukup menunjukkan bahwa mereka adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai derajat “wali”. Para wali bukan saja berperan sebagai penyiar Islam, melainkan mereka juga ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan kesultanan. Karena posisi itu, mereka mendapat gelarSusuhunan yang biasa disebut Sunan. Dari peranan politik itu, mereka dapat “meminjam” kekuasaan sultan dan kelompok elite keraton dalam menyebarkan dan memantapkan penghayatan Islam sesuai dengan keyakinan sufisme yang mereka anut. Warna sufisme yang kental juga terlihat dari nilai anutan mereka yang didominasi sufisme aliran al-Ghazali. Buku-buku karangan al-Ghazali menjadi sumber bacaan sufisme yang paling digemari dan pada umumnya memuat pokok bahasan tasawuf akhlak dan tasawuf amali. Pengaruh tasawuf falsafi cukup kuat dan luas penganutnya dikalangan penganut tarekat. Sedangkan tokohnya yang paling populer pada masa itu adalah Syekh Siti Jenar. Semenjak penyiaran Islam di Jawa diambil alih oleh kerabat elite keraton, secara perlahan-lahan terjadi proses akulturasi sufisme dengan kepercayaan lama dan tradisi lokal, yang berakibat bergesernya nilai keislaman sufisme karena tergantikan oleh model spiritualis nonreligius.[3] B. Tokoh-Tokoh Tasawuf di Indonesia Ada banyak sekali tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia. Ada beberapa lima tokoh yang paling dikenal, diantaranya adalah 1. Hamzah Al-Fansuri Hampir semua penulis sejarah islam mencatat bahwa Syekh Hamzah al-Fansuri dan muridnya Syekh Syamsuddin as-Sumatrani termasuk tokoh sufi yang sepaham dengan al-Hallaj. Syekh Hamzah al-Fansuri diakui sebagai salah seorang pujangga Islam yang sangat populer pada zamannya. Namanya tercatat sebagai seorang kaliber besar dalam perkembangan Islam di Nusantara dari abadnya hingga ke abad kini.[4] Beliau adalah seorang ulama’ yang cerdas dan menguasai dengan baik bahasa Arab, Persi, Jawa, Melayu, Aceh, Siam dan Urdu. Beliau banyak melakukan pengembaraan ke berbagai Negara dan tempat di kepulauan Nusantara, Semenanjung Melayu, Siam, India, Persia dan Arab. Menurut para ahli, beliau adalah sebagai perintis bahasa Melayu dalam bidang sastra tulis. Melalui beliau inilah bahasa Melayu terangkat tinggi sehingga disebut sebagai Bapak Bahasa dan Sastra Melayu. Beliau juga adalah orang yang pertama kali menciptakan syair dan pantun.[5] Syekh Hamzah Fansuri adalah penganut faham Wahdatul Wujud. Faham Wahdatul Wujud inilah yang mengakibatkan beliau dan muridnya, Syekh Syamsuddin Sumatrani mendapatkan tantangan keras dari ulama’-ulama’ syari’at, terutama oleh Syekh Nuruddin ar Raniri karena menganut faham nilai beliau dicap sebagai orang yang zindiq, sesat, kafir, dan sebagainya. Selain menganut faham Wahdatul Wujud, ijttihad dan hulul dalam bidang tashawwuf, beliaupun dikatakan juga sebagai penganut syi’ah dalam aqidah. Syekh Hamzah Fansuri sangat giat dalam menyebarkan dan mengembangkan thariqat ke berbagai negeri. Beliau pernah sampai ke berbagai negeri di Timur Tengah utamanya Mekkah dan Madinah. Begitu pula dengan negeri-negeri di Nusantara pernah dijelajahi, seperti Pahang, Kedah, Banten, Jawa dan sebagainya. Bahkan ada yang mengatakan pernah sampai ke seluruh Semenanjung dan memperkembangkan tashawwuf itu di negeri Perak, Perlis, Kelantan, Trengganu dan lain-lain.[6] Disamping giat menyebarkan tashawwuf ke berbagai pelosok negeri, beliaupun giat menulis baik dalam bentuk puisi maupun prosa. Pengaruh dari karya Syekh Hamzah Fansuri memang luar biasa besarnya. Karena itu, karya-karya beliau baik yang berbentuk puisi maupun prosa banyak mendapat perhatian para sarjana maupun orentalis barat. Demikian perjuangan Syekh Hamzah Fansuri dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan faham yang diyakininya di tengah-tengah masyarakat sampai akhir hayatnya. Dan hingga sekarang kuburnya tidak diketahui.[7] 2. Syamsuddin Al-Sumatrani Syamsuddin Sumatrani adalah putra seorang ulama Aceh terkenal yang bernama Syekh Abdullah as Sumatrani.[8] Pemikiran tasawufnya Syamsuddin al-Sumatrani membahas tentang martabat tujuh dan dua puluh sifat Tuhan. Konsep martabat tujuh ini pertama kali dicetuskan oleh Muhammad Ibn Fadlullah al-Burhanpuri seorang ulama kelahiran India.[9] Beliau mendapatkan pendidikan dari tokoh shufi pada masa itu, yaitu Syekh Hamzah Fansuri di Aceh dan kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di Pulau Jawa dimana pada saat itu agama Islam sudah berkembang pesat berkat perjuangan gigih dari para Walisongo. Syamsuddin Sumatrani sangat giat mempelajari ilmu keislaman terutama ilmu tashawwuf. Terbukti dari guru-guru yang beliau pilih adalah para tokoh ahli tashawwuf. Baik Syekh Hamzah Fansuri maupun Syekh Maulana Makdum Ibrahim adalah para ulama’ ahli tashawwuf yang cukup terkenal ketika itu. Meskipun keduanya berbeda aliran dalam tashawwufnya dan faham yang dianutnya.[10] Setelah beliau menamatkan pelajarannya dan kembali ke kampung halamannya Aceh, nampaknya beliau langsung mendapat tempat pada posisi yang terbaik di Kerajaan Aceh. Beliau di percaya memangku jabatan “Perdana Menteri” di Kerajaan Aceh. Disamping itu, beliau juga termasuk seorang pujangga Islam Indonesia yang kedua setelah Syekh Hamzah Fansuri. Disamping beliau disibukkan dalam kegiatan pemerintahan Kerajaan Aceh, beliau tetap giat menyebarkan dan mengembangkan tashawwuf dengan mengajar dan menulis. Tashawwuf yang diajarkan dan dikembangkan oleh Syekh Syamsuddin Sumatrani tidak berbeda dengan gurunya Syekh Hamzah Fansuri, yaitu faham Wahdatul Wujud, hulul, ittihad dan sebangsanya. Karena faham inilah beliau banyak mendapat kecaman dari berbagai kalangan.[11] Jumlah keseluruhan karya Syekh Syamsuddin Sumatrani keseluruhan yang diketahui ada 18 kitab. Dari karya-karya beliau ini Nampak sekali keluasan dan kedalaman ilmu beliau, sehingga beliau menjadi seorang ulama’ yang disegani baik lawan maupun kawan. Sewaktu beliau wafat pada tanggal 12 Rajab 1039 H / 1619 M. ada yang mengatakan beliau wafat tahun 1661 M. Syekh Nuruddin ar Raniri menulis pengakuan tentang kealiman beliau dalam kitabnya yang bernama Bustanus Salatin.[12] 3. Nuruddin Ar-Raniri Ar-Raniri dilahirkan di Ranir, sebuah kota pelabuhan tua di Pantai Gujarat, India. Pendidikan pertamanya diperoleh di Ranir kemudian dilanjutkan ke wilayah Hadramaut. Menurut catatan Azyumardi Azra, ar-Raniri merupakan tokoh pembaruan di Aceh. Ia mulai melancarkan pembaruan Islamnya di Aceh setelah mendapat pijakan yang kuat di istana Aceh. Pembaruan utamanya adalah memberantas aliran Wujudiyyah yang dianggap sebagai aliran sesat. ar-Raniri dikenal pula sebagai seorang syekh Islam yang mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa menentang aliran Wujudiyyah ini.[13] Menurutnya, pendapat Hamzah al-Fansuri tentang Wahdat Al-Wujud dapat membawa pada kekafiran. Ar-Raniri berpandangan bahwa jika benar Tuhan dan makhluk hakikatnya satu, dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia, dan jadilah seluruh makhluk itu adalah Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik buruk maupun baik, Allah SWT. turut serta melakukannya. Jika demikian halnya, manusia mempunyai sifat-sifat Tuhan. Pemisahan antara syariat dan hakikat, menurut ar-Raniri, merupakan sesuatu yang tidak benar. Untuk menguatkan argumentasinya, ia mengajukan beberapa pendapat pemuka sufi, di antaranya adalah Syekh Abdullah al-Aidarusi yang menyatakan bahwa tidak ada jalan menuju Allah SWT., kecuali melalui syariat yang merupakan pokok dan cabang Islam.[14] Pendirian ar-Raniri dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat kompromis. Ia berupaya menyatukan paham Mutakallimin dengan paham para sufi yang diwakili Ibnu Arabi. Pandangan ar-Raniri hampir sama dengan Ibnu Arabi bahwa alam ini merupakan tajalli Allah SWT. Akan tetapi, tafsirannya membuatnya terlepas dari label panteisme Ibnu Arabi. Ar-Raniri berpandangan bahwa alam ini diciptakan Allah SWT. melaluitajalli. Ia menolak teori al-faidh emanasi al-Farabi karena membawa pada pengakuan bahwa alam ini qadim sehingga dapat jatuh pada kemusyrikan.[15] Gema pemikiran ar-Raniri sampai juga ke daerah Nusantara lainnya sehingga buku-bukunya banyak dipelajari orang. Pemikiran-pemikiran tasawuf Nuruddin ar-Raniri banyak diterima dan dipelajari oleh Sultan Iskandar Tsani sehingga kebijakan Nuruddin mengeluarkan fatwa “kufur” kepada wujudiyah ternyata didukung oleh sultan.[16] Pemikiran ar-Raniri tersebut ternyata berpengaruh besar ke seluruh Nusantara sehingga peranan Nuruddin ar-Raniri dalam perkembangan Islam di wilayah Melayu Indonesia. Kehadiran Nuruddin ar-Raniri harus diakui telah berhasil mematahkan pemikiran wujudiyah-nya Syamsuddin al-Sumatrani.[17] 4. Abdur Rauf as-Sinkili Syekh Abdur Rauf Bin Ali Fansuri adalah seorang penyebar pertama thariqat Syathariyah di Indonesia. Beliau adalah murid dari Syekh Shafiuddin Ahmad ad-Dajjani al-Qusysyi, seorang guru besar shufi di Mekkah dan juga murid dari Syekh Ibrahim Al Kurani, seorang guru besar di Madinah.[18] Sebelum as-Sinkili membawa ajaran tasawufnya, di Aceh telah berkembang ajaran tasawuf falsafi, yaitu tasawuf Wujudiyyah yang kemudian dikenal dengan namaWahdat Al-Wujud. Ajaran tasawuf Wujudiyyah ini dianggapnya sebagai ajaran sesat dan penganutnya dianggap sudah murtad. as-Sinkili berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat. Ajaran Tasawufnya sama dengan Syamsuddin dan Nuruddin, yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki, yaitu Allah SWT., sedangkan alam ciptaan-Nya bukanlah merupakan wujud hakiki, melainkan bayangan dari yang hakiki. Menurutnya, jelaslah bahwa Allah SWT. berbeda dengan alam. Walaupun demikian, antara bayangan alam dan yang memancarkan bayangan Allah tentu terdapat keserupaan. Sifat-sifat manusia adalah bayangan Allah SWT., seperti yang hidup, yang tahu, dan yang melihat. Pada hakikatnya, setiap perbuatan adalah perbuatan Allah SWT.[19] Ajaran tasawuf al-Sinkli yang lain adalah bertalian dengan martabat perwujudan. Syekh Abdul Rauf al-Sinkili, dalam segi lain sering dipandang sebagai penganjur Tarekat syatariyat yang menilai banyak murid di Nusantara. Pemahaman Abdul Rauf terhadap konsep martabat tujuh terletak pada posisi Tuhan terhadap ciptaan-Nya. Ia lebih menekankan aspek imanensi yang menurut, sebagai paham kaum Wujudiyah.[20] Para penyebar thariqat Syathariyyah yang semuanya berpuncak pada Syekh Abdur Rauf Bin Ali Fansuri wafat boleh dikatakan tiada lagi generasi pelanjutnya. Namun thariqat ini pengaruhnya tetap ada hingga saat ini.[21] 5. Yusuf al-Makasari Syekh Yusuf al-Makasari adalah seorang tokoh sufi agung yang berasal dari Sulawesi. Naluri fitrah pribadi Syekh Yusuf sejak kecil telah menampakkan bahwa ia cinta akan pengetahuan keislaman. Dalam tempo relatif singkat, ia tamat mempelajari al-Qur’an 30 juz.[22] Pada masa Syekh Yusuf, memang hampir setiap orang lebih menggemari ilmu tasawuf. Syekh Yusuf pernah melakukan perjalanan ke Yaman. Di Yaman, ia menerima tarekat dari syekhnya yang terkenal, yaitu Syekh Abi Abdullah Muhammad Baqi Billah. Semua tarekat yang telah dipelajari Syekh Yusuf mempunyai silsilah yang bersambung hingga kepada Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, semua silsilah itu belum ditemukan, kecuali silsilah Naqsabandiyah yang terdapat pada salah satu tulisan tangannya.[23] Syekh Yusuf mengungkapkan paradigma sufistiknya bertolak dari asumsi dasar bahwa ajaran Islam meliputi dua aspek, yaitu aspek lahir syariat dan aspek batin hakikat. Syariat dan hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai satu kesatuan. Syekh Yusuf menggarisbawahi bahwa proses ini tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dengan Tuhan.[24] Kalau ajaran Abdul Rauf singkat ialah boleh dikatakan tidak mempunyai paham atau ajaran yang tersendiri. Dalam masalah keagamaan, beliau mengikuti paham Ahlussunnah Waljama’ah dan khusus dalam bidang fikih beliau adalah pengikut syafi’iyah, sedangkan dalam tasawuf mengikuti thariqat syattariyah dan paham-paham ini pulalah yang ia sebarkan dalam semua kegiatan dakwahnya.[25] Meskipun berpegang teguh pada transedensi Tuhan, ia meyakini bahwa Tuhan melingkupi segala sesuatu dan selalu dekat dengan sesuatu. Mengenai hal ini,Syekh Yusuf mengembangkan istilah ihathahpeliputan dan al-ma’iyyahkesertaan. Kedua istilah itu menjelaskan bahwa Tuhan turun tanazul, sementara manusia naik taraqi, suatu proses spiritual yang membawa keduanya semakin dekat. Syekh Yusuf menggarisbawahi bahwa proses ini tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dan Tuhan. Syekh Yusuf berbicara pula tentang insan kamil dan proses penyucian jiwa. Ia mengatakan bahwa seorang hamba akan tetap hamba walaupun telah naik derajatnya, dan Tuhan akan tetap Tuhan walaupun turun pada diri hamba. Menurutnya, kehidupan dunia bukanlah untuk ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan.[26] BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Perkembangan tasawuf di Indonesia, tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi dikawasan ini. Sebab, sebagian besar penyebaran Islam di Nusantara merupakan jasa para sufi. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf merupakan unsur yang cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu. Perkembangan Islam di tanah Jawa selanjutnya digerakkan oleh Wali Songo atau Wali Sembilan. Para wali bukan saja berperan sebagai penyiar Islam, melainkan mereka juga ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan kesultanan. 2. Tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia a. Hamzah Al-Fansuri Menurut para ahli, beliau adalah sebagai perintis bahasa Melayu dalam bidang sastra tulis. Melalui beliau inilah bahasa Melayu terangkat tinggi sehingga disebut sebagai Bapak Bahasa dan Sastra Melayu. Beliau juga adalah orang yang pertama kali menciptakan syair dan pantun. b. Syamsuddin al-Sumatrani Jumlah keseluruhan karya Syekh Syamsuddin Sumatrani keseluruhan yang diketahui ada 18 kitab. Dari karya-karya beliau ini nampak sekali keluasan dan kedalaman ilmu beliau, sehingga beliau menjadi seorang ulama’ yang disegani baik lawan maupun kawan. c. Nuruddin ar-Raniri Ar-Raniri dikenal pula sebagai seorang syekh Islam yang mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa menentang aliran Wujudiyyah ini. Ar-Raniri berpandangan bahwa jika benar Tuhan dan makhluk hakikatnya satu, dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia, dan jadilah seluruh makhluk itu adalah Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik buruk maupun baik, Allah SWT. turut serta melakukannya. Jika demikian halnya, manusia mempunyai sifat-sifat Tuhan. d. Abdur Rauf as-Sinkili As-Sinkili berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat. Menurutnya, jelaslah bahwa Allah SWT. berbeda dengan alam. Walaupun demikian, antara bayangan alam dan yang memancarkan bayangan Allah tentu terdapat keserupaan. Sifat-sifat manusia adalah bayangan Allah SWT., seperti yang hidup, yang tahu, dan yang melihat. Pada hakikatnya, setiap perbuatan adalah perbuatan Allah SWT. e. Yusuf al-Makasari Syekh Yusuf mengungkapkan paradigma sufistiknya bertolak dari asumsi dasar bahwa ajaran Islam meliputi dua aspek, yaitu aspek lahir syariat dan aspek batin hakikat. Syariat dan hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai satu kesatuan. Syekh Yusuf menggarisbawahi bahwa proses ini tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dengan Tuhan. DAFTAR PUSTAKA Anwar, Rosihon, Akhlak Tasawuf, Bandung Pustaka Setia,2010 Nasution Bangun, Ahmad dan Sinegar Hanum, Rayani, Akhlak Tasawuf, Jakarta RajaGrafindo Persada,2013 Asrifin, Tokoh-tokoh Shufi,Surabaya Karya Utama [1] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung Pustaka Setia, 2010, hlm. 337. [5] Asrifin, Tokoh-Tokoh Shufi, Surabaya Karya Utama, hlm 256 [9] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, Jakarta RajaGrafindo Persada,2013, hlm. 65. [10] Asrifin,Tokoh-Tokoh Shufi, hlm. 256. [13] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 344. [16] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, hlm. 65. [18] Asrifin, Tokoh-Tokoh Shufi, hlm. 263. [19] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 348. [20] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, hlm. 67. [21] Asrifin, Tokoh-Tokoh Shufi, hlm. 264. [22] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 349. [24] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, hlm. 68. [26] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 352. Oleh Abdul Hadi WM*Hamzah Fansuri di dalam MakkahMencari Tuhan di Baitil Ka’bahDi Barus ke Quds terlalu payah Akhirnya jumpa di dalam rumahSufinya bukannya kainFi’l-Makkah daim bermainIlmunya lahir dan batinMenyembah Allah terlalu rajinHidup dalam dunia upama dagangDatang musim kita kan pulangLa tasta’khiruna sa`atan lagi’ kan datangMencari makrifat Allah jangan kepalangHamzah Fansuri, penyair sufi Melayu abad ke-16 MDalam konteks sejarah Islam di kepulauan Melayu Nusantara, tasawuf bukanlah fenomena baru dan asing. Sejak awal pesatnya perkembangan Islam dan perlembagaannya pada abad ke-13-15 M, komunitas-komunitas Islam yang awal telah mengenal tasawuf sebagai bangunan spiritualitas Islam yang kaya dengan kearifan dan amalan-amalan yang dapat menuntun para penuntut ilmu suluk menuju pemahaman yang mendalam tentang tauhid. Sedangkan ahlinya yang dikenal sebagai sufi tak jarang dikenal sebagai wali, guru kerohanian, pemimpin organisasi tarekat, pendakwah dan darwish atau fakir yang suka mengembara sambil berniaga untuk menyebarkan agama Islam ke berbagai pelosok menemui para bangsawan, saudagar, kaum terpelajar, pengrajin, orang-orang di pinggiran kota dan pedesaan untuk menyerukan kebenaran di jalan Islam. Tidak sedikit pula di antara mereka dikenal sebagai ahli falsafah, cendikiawan, sastrawan, dan pemimpin gerakan sosial keagamaan yang populis. Ahli-ahli sejarah Islam dulu maupun sekarang juga telah menemukan bukti bahwa tidak sedikit organisasi-organisasi perdagangan Islam ta`ifa pada abad-abad tersebut memiliki afiliasi dengan tarekat-tarekat sufi tertentu. Dengan memanfaatkan jaringan-jaringan pendidikan, intelektual, dan keagamaan yang tersebar di seantero dunia Islam seperti Istanbul, Damaskus, Baghdad, Makkah, Yaman, Samarkand, Bukhara, Nisyapur, Herat, Delhi, Gujarat, Bengala, Samudra Pasai, Malaka, dan lain sebagainya mereka tidak memperoleh kesukaran dalam menyebarkan agama berkembangnya Islam sendiri di Indonesia yang dimulai di kota, begitu pula dengan tasawuf. Setelah itu ia baru merembet ke kawasan pinggiran atau urban, kemudian ke wilayah pedalaman dan pedesaan. Sufi-sufi awal seperti Hasan Basri dan Rabiah Al-Adawiyah memulai kegiatannya di Basra, kota yang terletak di sebelah selatan Iraq yang pada abad ke-8-10 M merupakan pusat kebudayaan. Makruf al-Karqi, Junaid Al-Baghdadi, dan Mansur Al-Hallaj mengajarkan tasawuf di Baghdad yang merupakan pusat kekhalifatan Abbasiyah dan kota metropolitan pada abad ke-8-13 M. Attar lahir dan besar di Nisyapur, yang pada abad ke-10-15 M merupakan pusat keagamaan, intelektual dan perdagangan terkemuka di hidup dan mendirikan Tarekat Maulawiyah di Konya, kota penting di Anatolia pada abad ke-11-17 M. Hamzah Fansuri lahir dan besar di Barus, kota dagang di pantai barat Sumatra yang merupakan pelabuhan regional pada abad ke-13-17 M. Sunan Bonang, seorang dari wali sanga terkemuka, mengajarkan ilmu suluk di Tuban yang pada abad ke-14-17 M merupakan kota dagang besar di Jawa Timur. Syamsudin Pasai adalah penganjur tasawuf wujudiah dan pendiri madzab Martabat Tujuh yang terkenal. Dia seorang mufti dan juga perdana menteri pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda 1607-1636 M di kesultanan Aceh sebagaimana kebangkitannya pada masa awal, bangkitnya kembali gairah terhadap tasawuf di Indonesia bermula di kota besar seperti Jakarta dan Bandung pada akhir 1970-an, dan terutama sekali dalam dekade 1980-an. Pelopornya ialah para sastrawan, seniman, sarjana ilmu agama, dan cendekiawan. Pendek kata kaum terpelajar yang tidak sedikit dari mereka adalah dokter, pengusaha, manager, sarjana ekonomi, ilmu politik, falsafah, dan beberapa fenomena pada akhir 1970-an dan awal 1980-an yang menandakan bangkitnya kembali gairah dan minat terhadap tasawuf. Pertama, mulai penerbitan buku tentang tasawuf dan relevansinya. Buku-buku ini sebagian besar merupakan terjemahan karangan para sarjana modern seperti Syed Hossein Nasr, A J Arberry, Reynold Nicholson, Frithjof Schuon, Martin Lings, Syed M Naquib Al-Attas, Roger Garaudy, Annemarie Schimmel, Idries Shah dan lain-lain. Sebagian lagi terjemahan karya sufi klasik seperti Imam Al-Ghazali, Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Jalaluddin Rumi, Ali Utsman Al-Hujwiri, Muhammad Iqbal, dan awal yang berjasa ialah Pustaka Salman dan Mizan di Bandung, Pustaka Firdaus, Panji Masyarakat dan Bulan Bintang di Jakarta. Penerjemahnya adalah sarjana-sarjana yang baru kembali dari Amerika. Kita tahu pada awal 1970-an minat mempelajari bentuk-bentuk spiritualisme Timur sangat marak di Barat. Ledakan penerbitan buku-buku kearifan Timur termasuk tasawuf menyertai bangkitnya gairah tersebut. Survei yang dibuat IKAPI Ikatan Penerbit Indonesia kalau tak salah pada tahun 1989 menyebutkan bahwa di antara buku yang paling laris ketika itu ialah buku-buku tasawuf. Buku Sastra Sufi Sebuah Antologi yang saya karang dan diterbitkan pada tahun 1985 mengalami cetak ulang sampai 7 fenomena ini perbincangan tentang tasawuf dan sastra sufistik semakin ramai pada tahun 1980-an. Puncaknya ialah pada waktu Festival Istiqlal diselenggrakan paa tahun 1991 dan 1995. Dalam festival kebudayaan Islam terbesar yang pernah diselenggarakan di Indonesia ini, berbagai bentuk ekspresi seni yang lahir dari tradisi tasawuf dipergelarkan, termasuk pameran akbar seni rupa. Di antara ekspresi seni daerah yang berasal dari kreativitas para sufi ialah Tari Saman dan Seudati dari Aceh, Rebana Biang dan Rafa`i dari Banten, Tari Zapin Melayu, Pantil dan Sintung dari Madura, dan lain budaya atau sastra di surat kabar ibukota seperti Harian Berita Buana dan Pelita berada di garis depan dalam upaya mereka memperkenalkan relevasi tasawuf dan kesusastraan sufi. Nomor-nomor awal majalah dan jurnal kebudayaan Islam terkemuka seperti Ulumul Qur’an juga menampilkan perbincangan tentang tasawuf dan relevansinya. Pada akhir tahun 1980-an, pengajian-pengajian tasawuf mulai marak dilakukan di kota besar seperti Jakarta. Misalnya seperti yang diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina. Ini tidak mengherankan oleh karena orang-orang yang berperan dalam pengajian tersebut sebagiannya adalah para redaktur atau editor Ullumul Qur’ uzlah mahasiswa juga memainkan peranan penting dalam memperkenalkan relevansi tasawuf. Terutama kelompok uzlah yang muncul di masjid-masjid kampus seperti Salman ITB, Salahuddin UGM, dan Giffari IPB Institut Pertanian Bogor. Training-training organisasi mahasiswa pada akhir 1980an juga tidak jarang diisi dengan bahan yang berkaitan dengan ajaran sufi. Di luar itu juga marak pengajian-pengajian seperti Pengajian Taqwa yang diselenggarakan di sudut-sudut pinggiran ibukota. Tarekat-tarekat sufi seperti Naqsabandiyah, Qadiriyah, Tijaniyah, dan lain-lain yang dahulunya tersembunyi di kawasan-kawasan pinggiran kemudian merengsek keluar dan menampakkan kegiatannya di pusat memahami fenomena ini kita harus kembali melihat situasi tahun 1980-an. Sejauh mengenai gerakan uzlah di kalangan mahasiswa tidak sukar dijawab. Sebagai dampak dari demo-demo anti pemerintah yang gencar dilakukan mahasiswa, pemerintah ketika itu melarang kampus dijadikan ajang kegiatan politik. Organisasi ekstra universiter seperti HMI, PMKRI, GMNI, IMM, PMII dan lain-lain dihalau keluar dari kampus-kampus besar. Kebijakan depolitisasi ini dijawab oleh mahasiswa-mahasiswa Islam di beberapa kampus terkemuka seperti ITB, IPB, UGM, dan UI dengan menyelenggarakan kegiatan pengajian dan pembelajaran secara sembunyi-sembunyi dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Tujuannya ialah menyusun strategi baru perjuangan dan sekaligus memperdalam penghayatan secara umum bangkitnya kembali gairah terhadap tasawuf di kalangan terpelajar pada tahun 1980-an sangat terkait dengan kehampaan spiritual yang mulai dirasakan di tengah pesatnya pembangunan ekonomi. Masyarakat kota, yang sebagian besar adalah orang-orang yang hijrah dari daerah, mulai merasakan dirinya berada di tengah budaya baru yang asing, terutama sistem nilai, pola hidup dan pergaulannya. Di tengah pesatnya peradaban materialistik tumbuh di sekitarnya, mereka merasakan hilangnya dimensi kerohanian yang teramat penting dalam memelihara dunia merupakan perhentian yang penting. Oleh karena itu manusia wajib mengenal dirinya dan dunia tempatnya tinggal itu, memelihara kehidupan di dunia sebaik-baiknya. Orang yang ingin selamat di dunia dan akhirat harus dapat membebaskan diri dari hidup serba Hamzah Fansuri yang dikutip pada awal tulisan ini telah mengatakan kepada kita tujuan tasawuf yang sebenarnya yaitu tauhid; kesaksian bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan tempat kita memohon pertolongan.* Sastrawan, Budayawan, dan ahli filsafat sumber Bayt Al-Hikmah InstituteBACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini Related PapersPENDAHULUAN Dewasa ini, kajian tentang tasawuf semakin banyak diminati orang sebagai buktinya adalah misalnya, semakin banyaknya buku yang membahas tasawuf di sejumlah perpustakaan, di negara-negara yang berpenduduk muslim, juga Negara-negara Barat sekalipun yang mayoritas masyarakatnya non muslim, ini dapat menjadi salah satu alasan betapa tingginya ketertarikannya mereka terhadap tasawuf. Adapun yang dimaksud dengan Ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan ma'rifat menuju keabadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah Swt dan mengikuti syari'at Rasulullah saw. Dalam mendekatkan diri dan mencapai riḍha-Nya. 1 Tasawuf sendiri adalah upaya untuk membebaskan diri dari sifat-sifat kemanusiaan demi meraih sifat-sifat malaikat dan akhlak ilahi, serta menjalani hidup pada poros ma'rifatullah dan maḥabbatullah sembari menikmati kenikmatan spiritual. Sedang sebuah ungkapan yang disematkan kepada para ahli tasawuf disebut sufi. 2 Tujuan para sufi adalah ma'rifatullah yang dalam perjalanannya melalui beberapa tahap seperti syariat, ṭarῑqah, hakekat dan ma'rifat. Ma'rifat adalah tujuan akhir dari tasawwuf, yang mana didikannya pun berpindah dari hakekat ke ma'rifat yaitu mengenal Tuhan sebaik-baiknya. 3 Sufisme atau orang-orang yang tertarik pada pengetahuan sebelah dalam, orang-orang yang berupaya mencari jalan atau praktik amalan yang dapat mengantarkannya pada kesadaran dan pencerahan hati adalah orang-orang yang mengikuti jalan penjernihan diri, penyucian hati dan meningkatkan kualitas karakter dan perilaku mereka agar mencapai tahapan maqam orang-orang yang menyembah Allah seolah-olah mereka melihat-Nya dan jikalau tidak Dia selalu melihat mereka. 4 Dari penjelasan di atas, maka tingkat ketertarikan mereka tidak dapat diklaim sebagai sebuah penerimaan bulat-bulat terhadap tasawuf, jika diteliti lebih mendalam, ketertarikan 1Latar Belakang Penyebaran Islam yang berkembang secara spektakuler di Negara-Negara Asia Tenggara berkat peranan dan kontribusi tokoh-tokoh tasawuf adalah kenyataan yang diakui oleh hampir mayoritas sejarawan dan peneliti. Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih sayang. Terdapat kesepakatan dikalangan sejarawan dan peneliti, orientalis, dan cendikiawan Indonesia, bahwa tasawuf adalah faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas. Secara historis, tasawuf telah mengalami perkembangan melalui beberapa tahap, sejak pertumbuhan hingga perkembangannya Syeikh Hamzah al-Fansuri merupakan ulama cendekiawan, sufi, dan budayawan yang berada di daerah Aceh. Beliau hidup pada pemerintahan Sulthan Alaiddin Riayatsyah pertengahan abad ke-16 M hingga awal pemerintahan Sulthan Iskandar Muda Mahkota Alam awal abad ke-17 M. Bargansky menginformasikan bahwa al-Fansusri hidup hingga akhir masa pemerintahan Sulthan Iskandar Muda 1607-1636 dan wafatnya beberapa tahun setelah datangnya Nurruddin Ar-Raniy yang kedua kalinya di Aceh pada tahun 1637. Syekh Hamzah al-Fansuri merupakan pelopor Wujudiyah di Nusantara. Pandangan tasawuf yang dimiliki oleh Beliau yang berbau Wujudiyah panteisme. Tokoh yang dianggap amat berpengaruh terhadap pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri yakni Ibnu 'Arabi melalui karya-karyanya. Di Nusantara, Hamzah Fansuri lebih dikenal sebagai ulama sufi dengan memiliki paham tasawuf wujudiyah yang telah dikembangkan oleh sufi panteisme atau falsafat monisme. Kata kunci tasawuf; Hamzah AL-Fansuri; Nusantara Pendahuluan Kajian tasawuf merupakan kajian penting dalam ajaran islam. Tasawuf merupakan dimensi Ihsan ajaran islam. Doktrin tasawuf dapat ditemukan dalam Al-Quran dan HadistJa'Far,2012. tasawuf merupakan disiplin ilmu yang bertujuan untuk mendekatkan pengkajiannyaseorang Muslim kepada Allah SWT. Perkataan para sufi mengindikasikan hal demikianJa'Far,2016. Tasawuf secara etimologi berasal dari kata bahasa arab, yaitu tashawwafa,Yatashawwafu, selain dari kata shuf yang artinya bulu domba, maksudnya adalah bahwa penganut tasawuf ini hidupnyaIslam merupakan agama yang menghendaki kebersihan lahiriah sekaligus batiniah. Hal ini tampak misalnya melalui keterkaitan erat antara niat aspek esoterik dengan beragam praktek peribadatan seperti wudhu, shalat dan ritual lainnya aspek eksoterik. Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian studi Islam yang memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan aspek batiniah manusia yang dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Jadi sebagai ilmu sejak awal tasawuf memang tidak bisa dilepaskan dari tazkiyah al-nafs penjernihan jiwa. Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan. tasawuf para sahabat bukanlah pola ketasawufan yang menghendaki kasyf al-hijab penyingkapan tabir antara Tuhan dengan makhluk atau hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para sufi di masa belakangan. Corak sufisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba' dan iqtida' kesetiaan meneladani perilaku hidup Nabi. Islam sekalipun mengajarkan tentang ketakwaan, qana'ah, keutamaan akhlak dan juga keadilan, tetapi sama sekali tidak pernah mengajarkan hidup kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagaimana akrab dalam tradisi mistisisme agama-agama lainnya. Tasawuf pada mulanya adalah bagian dari ajaran zuhud dalam islam. Yaitu lebih berkonsentrasi dalam pendekatan diri kepada Allah SWT dengan ketaatan dan ibadah. Semakin jauh dari zaman Rasul SAW semakin banyak aliran-aliran tasawuf berkembang. Dari perbedaan tatacara yang digunakan oleh masing-masing aliran itu tasawuf menjadi istilah yang terpisah dari ajaran zuhud. Karena tasawuf telah menjadi aliran yangSejarah munculnya tasawuf di Indonesia dan tokoh-tokoh penting serta Syamsuddin ibn Abdullah as-Sumatrani dikenal dengan nama Syamsuddin as-Sumatrani atau Syamsuddin Pasai. Syamsuddin as-Sumatrani hidup di Aceh antara akhir abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-17 pada masa Sultan Iskandar Muda w. 1045H/ 1639 M. Syamsuddin as-Sumatrani wafat pada 1040 H/1630 M. Syamsuddin as-Sumatrani adalah penganut mazhab Ibnu Arabi yaitu paham wahdat al-wujud atau wujudiyah, sekaligus murid Hamzah al-Fansuri. Dia pernah menduduki jabatan penting di Kerajaan Aceh yakni syaikh al-Islam. Syamsuddin as-Sumatrani terkenal sebagai seorang ahli ilmu tasuwuf. Paham wujudiyah Syamsuddin as-Sumatrani kemudian bertentangan dengan paham Nuruddin al-Raniri. Beberapa Karangan as-Sumatrani antara lain; Mir’ah al-Mu’minin, Mir’ah al-Muhaqqiqin, Syarh Ruba’i lil Hamzah Fanshuri, Jauhar al-Haqaiq, dan Tanbih al-Tullab fi Ma’rifah al-Malik al-Wahhab. Semua karyanya itu membahas Tasawuf.

pertanyaan tentang sejarah perkembangan tasawuf di indonesia